Langsung ke konten utama

Karakteristik Analisis Wacana Kritis

Kata Pengantar : Dr. Deddy N. Hidayat
Penulis : Eriyanto

       Dalam analisis wacana kritis (Critical Discource Analysis/CDA), wacana di sini tidak dipahami semata sebagai studi bahasa. Pada akhirnya, analisis wacana memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis, tetapi bahasa yang dianalisis di sini agak berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasan, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Konteks di sini berarti bahasa itu di pakai untuk tujuan dan praktek tertentu, termasuk di dalamnya praktek kekuasaan.
       Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat wacana pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai bentuk dari praktek sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktek sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi dan struktur sosial yang membentuknya. Praktek wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi: ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita,  kelompok mayoritas dan minoritas melalui nama perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan. Melalui wacana, sebagai contoh, keadaan yang rasis, seksis, atau ketimpangan dari kehidupan sosial dipandang sebagai suatu common sense, suatu kewajaran/alamiah, dan dan memang seperti itu kenyataannya. Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat terjadi. Mengutip Fairclough dak Wodak, analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. Berikut ini disajikan karakteristik penting dari analisis wacana kritis. Bahan diambil dari tulisan Teun A. van Dijk, Fairclough, dan Wodak.
       Wacana dipkondisi.ebagai sebuah tindakan (action). Dengan pemahaman semacam ini mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Wacana bukan ditempatkan seperti dalam ruang tertutup dan internal. Orang berbicara atau menulis bukan ditafsirkan sebagai ia menulis atau berbicara untuk diri sendiri, seperti kalau orang sedang mengigau atau di bawah hipnotis. Seseorang berbicara, menulis, dan menggunakan bahasa untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Dengan pemahaman semacam ini, ada beberapa konsekuensi bagaimana wacana harus dipandang. Wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyangga, bereaksi, dan sebagainya. Seseorang berbicara atau menulis mempunyai maksud tertentu, baik besar maupun kecil. Wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran. Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dari kondisi. Wacana di sini dipandang diproduksi, dimengerti dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Mengikuti Guy Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak. Titik tolak dari analisis wacana di sini, bahasa tidak bisa dimengerti sebagai mekanisme internal dari linguistik semata, bukan suatu objek yang diisolasi dalam ruang tertutup. Bahasa di sini dipahami dalam konteks secara keseluruhan. Guy Cook menyebut ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana: teks, konteks dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan menpengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi dimaksudkan, dan sebagainya. Wacana di sini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Di sini, dibutuhkan tidak hanya proses kognisi dalam arti umum, tetapi juga gambaran spesifik dari budaya yang dibawa. Studi mengenai bahasa di sini, memasukkan konteks, karena bahasa selaku berada dalam konteks, dan tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan, interaksi, situasi, dan sebagainya.
       Wacana tidak dianggap sebagai wilayah yang konstan, terjadi di mana saja dan kapan saja, dalam situasi apa saja. Wacana dibentuk sehingga harus ditafsirkan dalam kondisi dan situasi yang khusus. Wacana kritis mendefinisikan teks dan percakapan pada situasi tertentu: wacana berada dalam situasi sosial tertentu. Meskipun demikian, tidak semuanya konteks dimasukkan dalam analisis, hanya yang relevan dan dalam banyak hal berpengaruh atas produksi dan penafsiran teks yang dimasukkan dalam analisis. Ada beberapa konteks yang penting karena berpengaruh terhadap produksi wacana. Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana. Jenis kelamin, umur, pendidikan, kelas sosial, etnis, agama, dalam banyak hal relevan dalam menggambarkan wacana. Misalnya, seseorang berbicara dalam pandangan tertentu karena ia laki-laki, atau karena ia berpendidikan. Kedua, setting sosial tertentu, seperti tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik adalah konteks yang berguna untuk mengerti sesuatu wacana. Misalnya, pembicaraan di tempat kuliah berbeda dengan di jalan, pembicaraan di kantor berbeda dengan pembicaraan di kantin. Setting, seperti tempat itu privat atau publik, dalam suasana formal atau informal, atau pada ruang tertentu memberikan wacana tertentu pula. Berbicara di ruang pengadilan berbeda dengan berbicara di pasar, atau berbicara di rumah berbeda dengan berbicara dengan di ruang kelas, menyebabkan partisipan komunikasi harus menyesuaikan diri dengan konteks yang ada. Oleh karena itu, wacana harus di pahami dan ditafsirkan dari kondisi dan lingkungan sosial yang mendasarinya.
       Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu. Misalnya, kita melakukan analisis wacana teks selebaran mahasiswa menentang Soeharto. Pemahaman mengenai wacana wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa memberikan konteks historis di mana teks itu diciptakan. Bagaimana situasi sosial politik, suasana pada saat itu. Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan seterusnya.
       Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan (power) dalam analisisnya. Di sini, setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan, atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat. Seperti kekuasaan laki-laki dalam wacana mengenai seksisme, kekuasaan kulit putih terhadap kulit hitam dalam wacana mengenai rasisme, kekuasaan perusahaan berbentuk dominasi pengusaha kelas atas kepada bawahan, dan sebagainya. Pemakai bahasa bukan hanya pembicara, penulis, pendengar, atau pembaca, ia juga bagian dari anggota kategori sosial tertentu, bagian dari kelompok profesional, agama, komunitas, atau masyarakat tertentu. Hubungan yang terjadi kadang bukan A dan B tetapi juga tua dan muda, doktor dan pasien, antara laki-laki dan perempuan, kulit putih-kulit hitam, dan buruh-majikan. Hal ini mengimplikasikan analisis wacana kritis tidak membatasi dirinya pada detil teks atau struktur wacana saja tetapi juga menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik ekonomi, dan budaya tertentu. Percakapan antara buruh dengan majikan bukanlah percakapan yang alamiah, karena di sana terdapat dominasi kekuasaan majikan terhadap buruh tersebut. Aspek kekuasaan itu perlu dikritisi untuk melihat, misalnya, jangan-jangan apa yang dikatakan oleh buruh tadi hanya untuk menyenangkan atasannya. Bukan saja pada isi wacana yang dipakai tetapi bisa juga struktur wacana, karena ucapan seorang buruh dibuat sedemikian rupa agar tidak menyinggung atasan atau supaya tampak sopan, hal yang tidak dilakukan oleh majikan pada buruh.
       Bentuk kontrol terhadap wacana tersebut bisa bermacam-macam. Bisa berupa kontrol atas konteks, yang secara mudah dapat dilihat dari siapakah yang boleh dan harus berbicara, sementara siapa pula yang hanya bisa mendengar dan mengiyakan. Seorang sekretaris dalam suatu rapat, karena tidak mempunyai kekuasaan tugasnya hanya mendengar, dan menulis, tidak berbicara. Dalam lapangan berita, hal ini banyak ditemukan, pemilik atau politisi yang posisinya kuat menentukan sumber mana atau bagian mana yang harus diliput dan sumber mana atau bagian mana yang tidak perlu atau bahkan dilarang untuk beritakan. Selain konteks, kontrol tersebut juga diwujudkan dalam bentuk mengontrol struktur wacana. Seseorang yang mempunyai lebih besar kekuasaan bukan hanya menentukan bagian mana yang perlu ditampilkan dan mana yang tidak tetapi juga bagaimana ia harus ditampilkan. Ini misalnya dilihat dari penonjolan atau pemakaian kata-kata tersebut.
       Ideologi juga konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Teori-teori klasik tentang ideologi di antaranya mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi utamanya adalah dengan membuat kesadaran kepada khalayak bahwa dominasi itu diterima secara taken for granted. Wacana dalam pendekatan semacam ini dipandang sebagai medium melalui mana kelompok yang dominan mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar. Ideologi dari kelompok dominan hanya efektif jika didasarkan pada kenyataan bahwa anggota komunitas termasuk yang didominasi menganggap hal tersebut sebagai kebenaran dan kewajaran. Di sini, menurut van Dijk, dapay menjelaskan fenomena apa yang disebut sebagai "Kesadaran palsu", bagaimana kelompok dominan memanipulasi ideologi kepada kelompok yang tidak dominan melalui kampanye disinformasi (seperti agama tertentu yang menyebabkan suatu kerusuhan, orang kulit hitam selalu bertindak kriminal), melalui kontrol media, dan sebagainya.
       Pertanyaan utama di sini terutama peranan wacana dalam kerangka ideologi. Seperti dikatakan oleh Teun A. van Dick, ideologi terutama dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu atau anggota suatu kelompok. Ideologi membuat anggota dari suatu kelompok akan bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka dan memberikan kontribusi dalam membentuk solidaritas dan kohesi di dalam kelompok. Dalam perspektif ini, ideologi mempunyai beberapa implikasi penting. Pertama, ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal atau individual: ia membutuhkan share di antara anggota kelompok, organisasi atau kolektivitas dengan orang lainnya. Hal yang di-sharekan tersebut bagi anggota kelompok digunakan untuk membentuk solidaritas dan kesatuan langkah dalam bertindak dan bersikap. Katakanlah kelompok yang mempunyai ideologi feminis, antirasis, dan prolingkungan.
       Kedua, ideologi meskipun bersifat sosial, ia digunakan secara internal di antara anggota kelompok atau komunitas. Oleh karena itu, ideologi tidak hanya menyediakan fungsi koordinatif dan kohesi tetapi juga membentuk identitas diri kelompok membedakan dengan kelompok lain. Ideologi di sini bersifat umum, abstrak, dan nilai-nilai yang terbagi antara anggota menyediakan dasar bagaimana masalah harus dilihat. Dengan pandangan semacam ini, wacana lalu tidak dipahami sebagai sesuatu yang netral dan berlangsung secara alamiah, karena dalam setiap wacana selalu terkandung ideologi untuk mendominasi berebut pengaruh. Oleh karena itu, analisis wacana tidak bisa menempatkan bahasa secara tertutup, tetapi harus melihat konteks terutama bagaimana ideologi dari kelompok-kelompok yang ada tersebut berperan dalam membentuk wacana. Dalam teks berita misalnya, dapat dianalisis apakah teks yang muncul tersebut pencerminan dari ideologi seseorang, apakah dia feminis, antifeminis, kapitalis, sosialis, dan sebagainya.

Muhammad Fitrah (KABID PIP PD IPM SINJAI)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kajian Secara Online, Bidang Ipmawati Sinjai Sukses Gelar Forum Diskusi

SINJAI, IPM -- Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PD IPM) Sinjai Menggelar Kajian IPMawati yang berlangsung secara Virtual melalui Apk WhatsApp sejak pukul 19.30 WITA hari Kamis 04 Januari 2020. Kajian tersebut dipelopori langsung oleh Bidang Ipmawati dengan mengangkat tema "Peran Perempuan Dalam Menghadapi Akhir Zaman" yang dipandu oleh IPMawati Nurbaiti Anggota Bidang PKK PD IPM Sinjai.  Lebih lanjut, Kajian tersebut diisi langsung oleh pemateri tidak lain ialah Kakanda Nurlia yang merupakan Demisioner Sekretaris Umum PD IPM Sinjai Periode 2017-2019, Jumat (05/02/2021). Baca Juga Berikan Wadah Pembelajaran, PC IPM Sinjai Selatan Gelar Kajian Ipmawati Pendidikan Dimasa Pandemi, Belajar Daring Solusi atau Distorsi Ketua Umum PD IPM Sinjai Periode 2018-2020, Abdul Azis menuturkan sangat mengapresiasi kegiatan yang dilaksanakan oleh Bidang Ipmawati yang inisiatifnya dari Anggota Bidang. "Saya berharap bukan hanya Bidang Ipmawati yang kembali mengoptim

Cabang ke VII, IPM Bulupoddo Resmi Terbentuk

SINJAI, IPM - Pelatihan Kader Dasar Taruna Melati (PKDTM) I merupakan proses kaderisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) yang dilakukan secara turun menurun oleh Pimpinan. Hal tersebut dilakukan oleh Pimpinan Daerah (PD) IPM Kabupaten Sinjai yang telah laksanakan PKDTM 1 di Kecamatan Bulupoddo sejak tanggal 07-11 Mei 2021. Lebih lanjut, PKDTM 1 tersebut merupakan proses pembentukan Pimpinan Cabang (PC) IPM yang sekaligus angkatan pertama di Kecamatan Bulupoddo yang berpusat di Desa Tompobulu, Selasa (11/02/2021). Baca Juga Angkatan Pertama, PD IPM Sinjai Gelar PKDTM 1 Cabang Bulupoddo Secara Virtual, PKDTM 1 Sukses Digelar Tingkat Kabupaten Master Of Training PKDTM 1, Ariskin menuturkan bahwa selepas dari ini, Tim Fasilitator tidak akan melepas Kader-kader IPM Bulupoddo begitu saja yang ikuti pelatihan. Ketua Umum PD IPM Sinjai, Abdul Azis menyampaikan mewakili Pimpinan, saya ucapkan terima kasih ke pihak Sekolah MA Muhammadiyah Songing kelas Tompobulu dalam memfasilitasi

Lebarkan Sayap, Pimpinan Daerah Silaturahim PCM Sinjai Timur

SINJAI, IPM - Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhamnadiyah (PD IPM) Sinjai silaturahim dengan Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Sinjai Timur saat ditemui di Kediaman di Dusun Rombo, Desa Saukang, Sabtu (29/05/2021). Silaturahim tersebut guna menindaklanjuti kembali PKDTM 1 IPM Sinjai Timur yang ditunda 1 tahun lalu karena Pandemi Covid-19 melanda Kecamatan Sinjai Timur. PC Muhammadiyah Sinjai Timur, Arifuddin menyampaikan sudah lama saya tunggu IPM di Sinjai Timur. 1 tahun yang lalu sudah hampir terlaksana PKDTM 1 tapi Pandemi Covid-19, PKDTM 1 untuk sementara waktu ditunda. Baca Juga Bincang Bareng Alumni, IPM Sinjai Timur Siap Dibentuk Kembali Silaturahim Dengan PCM, IPM Pulau Sembilan Akan Segera Hadir Ditempat yang sama, Ketua Bidang (Kabid) Organisasi PD IPM Sinjai, A.Yhustika Nur Elvandari menuturkan kedatangan kami pun disambut hangat oleh ayahanda dengan melebarkan kembali sayap-sayap pergerakan dakwah IPM Sinjai di Kec Sinjai Timur. "Alhamdulillah ayahanda